Rabu, Agustus 11, 2010

Kedaulatan Informasi

Rabu, 11 Agustus 2010
Saya menyukai artikel ini makanya ikut saya share di blog saya ini...dan terima kasih buat yang punya artikel.
Dunia kini telah memasuki abad informasi. Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan seberapa jauh kita dapat survive di era ini ditentukan dari seberapa cepat kita dapat menyerap banjir informasi yang ada. Dapat pula dikatakan bahwa siapa yang akan menjadi pemimpin baik di dalam komunitas maupun di dalam persaingan adalah mereka yang memiliki perbendaharaan informasi paling banyak.
Sejak 1927 majalah TIME menampilkan tokoh-tokoh dunia dalam Person Of The Year-nya. Beberapa nama yang sempat muncul adalah tokoh-tokoh seperti Martin Luther King, Jr (1964), Ayatollah Khomeini (1979), sampai Bono, Bill, dan Melinda Gates (2005). Tapi, pada tahun 2006 majalah TIME yang semestinya menampilkan seorang tokoh tidak memajang foto siapa pun sebagai Person Of The Year-nya. Pada sampul halaman depannya terpajang gambar komputer dengan bertuliskan “YOU” pada monitornya.
“YOU”. Anda. Kita semua adalah orang-orang yang layak dinobatkan sebagai person of the year. Bukannya artis, selebritis, aktivis, atau presiden. Publik, khalayak, rakyat, komunitas, masyarakat, orang-orang kebanyakan kini dapat beralih dari orang yang biasa-biasa menjadi orang-orang penting. Semenjak abad informasi publik bukan lagi khalayak yang mengambang, kosong, dan tidak mengerti apa-apa. Publik semestinya menjadi pemilik kuasa, kekuatan, dan kedaulatan itu sendiri.
Para futurolog seperti Alvin Toeffler, John C Naisbitt, sampai Francis Fukuyama semenjak tahun ‘80-an telah meramalkan transformasi masyarakat dunia dari masyarakat industri menjadi masyarakat informasi. Janji dari wacana masyarakat informasi adalah meningkatnya kesejahteraan masyarakat sebab distribusi informasi di dalam masyarakat tersebar secara merata.
Kita ketahui dalam ilmu ekonomi distribusi informasi merupakan salah satu faktor yang menentukan efisiensi pasar. Selain itu dalam masyarakat Informasi akan terjadi demokratisasi. Hal ini juga merupakan harapan akan peningkatan-peningkatan good governance dalam skala makro maupun mikro yang juga mendukung penciptaan kesejahteraan.
Distribusi Informasi untuk Kesejahteraan
Hasil regresi data dari berbagai negara oleh Bank Dunia menunjukkan hubungan antara akumulasi pengetahuan yang diwakili indeks ekonomi pengetahuan (IEP) dan GDP per kapita. Kurvanya berbentuk eksponensial. Itu menjelaskan pertambahan akumulasi pengetahuan di sebuah negara akan menyebabkan GDP per kapita naik sangat cepat. Masyarakat informasi menjanjikan harapan keluarnya masyarakat dari kemiskinan dan kesengsaraan.
Chan dan Dalman mengumpulkan data-data menarik seputar kaitan antara peningkatan kualitas sumber daya manusia suatu negara yang salah satu faktornya dipengaruhi oleh menyebarnya informasi. Bila jumlah artikel pada jurnal internasional naik 1% akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi 0,22%. Dalam hal sarana teknologi informasi dan komunikasi. Bila jumlah komputer yang tersedia bertambah 100% pertumbuhan ekonomi akan meningkat 0,54%.
Peningkatan jumlah pengguna internet menjadi dua kali lipat akan meningkatkan 0,27% pertumbuhan ekonomi. Selain itu bila jumlah telepon ditambah 100% pertumbuhan ekonomi akan naik 0,55%. Tak heran jika seluruh dunia berupaya mengejar ketertinggalan teknologi lewat proyek-proyek digitalisasi seperti e-government, e-learning, e-banking, segala macam e-revolution agar akses informasi semakin mudah sehingga kesejahteraan semakin berkembang.
Kedaulatan informasi belum tentu tercapai secara sempurna dari sebab adanya pemerataan distribusi informasi. Kedaulatan informasi bisa terkendala oleh berhentinya khalayak sebagai konsumen informasi semata. Masyarakat tidak memperoleh benefit lebih yang semestinya dari informasi yaitu mengartikulasikan dan mengelaborasikannya menjadi “knowledge” lalu metransformasikan menjadi kesejahteraan sosial sebab mereka berhenti pada tahap konsumsi informasi semata.
Belum lagi ditambah tingkah polah para politisi dan kapitalis yang menguasai sumber daya informasi yang mengaturnya demi kepentingan politik dan bisnis semata. Hal-hal yang terakhir ini berpotensi menyeret masyarakat pada konsumsi informasi yang tidak bernilai tambah seperti pornografi, gossip, isu-isu sara yang memecah belah dan sebagainya.
Informasi Menjadi Knowledge
Informasi sendiri erat kaitannya dengan pengetahuan (knowledge). Shannon mengatakan bahwa informasi adalah sesuatu yang membuat pengetahuan kita berubah yang secara logis mensahkan perubahan. Memperkuat atau menemukan hubungan yang ada pada pengetahuan yang kita miliki.
Menurut Drucker, di era ‘knowledge society’ pengetahuan bukan semata sebagai salah satu sumber daya (a resource) bersama faktor-faktor produksi tradisional lain seperti buruh, tanah, dan modal. Melainkan satu-satunya sumber daya (the only resource). Toffler menyebut pengetahuan sebagai pengganti seluruh sumber daya dan merupakan sumber kekuasaan tertinggi dan kunci bagi pergeseran kekuasaan (power-shift).
Quinn menekankan bahwa kekuatan sebuah perusahaan tidak lagi terletak pada aset-aset kasat mata. Melainkan pada yang non-kasat mata (knowledge-based intangibles), karenanya kemampuan mengelola aset non-kasat mata ini merupakan keahlian yang sangat dibutuhkan oleh para eksekutif di era ini.
Sudah saatnya masyarakat Indonesia jika ingin survive di abad informasi ini harus beralih dari Knowledge Consumer kepada Knowledge Producer. Menciptakan knowledge menjadi penting untuk menghalau segala kemungkinan inefisiensi yang terjadi akibat beredarnya informasi-informasi yang tidak bernilai tambah.
Penciptaan Knowledge untuk Berinovasi
Penciptaan knowledge juga erat kaitannya dengan inovasi. Inovasi adalah harga yang harus dibayar untuk bisa bertahan menghadapi persaingan. Indonesia yang telah terlanjur memasuki AC-FTA dan menghadapi gerbang globalisasi perdagangan yang semakin terbuka harus mendorong budaya berinovasi demi bertahan dalam persaingan dan selanjutnya menjadi pemimpin persaingan.
Inovasi bukan hanya milik negara maju. Inovasi adalah senjata bagi negara berkembang untuk mengakali keterbatasan. Ketajaman dan frekuensi inovasi berbanding lurus dengan penciptaan knowledge. Semakin banyak penciptaan pengetahuan baru semakin tajam kehandalan berinovasi.
Penciptaan knowledge harus memperhatikan beberapa aspek. Isu yang marak belakangan ini adalah duplikasi atau pun plagiarisme dalam menciptakan karya akademis sebagai salah satu bentuk knowledge creation. Dunia akademis jangan sampai dibiarkan tercoreng oleh sarjana-sarhana palsu yang karyanya adalah hasil plagiat. Untuk meghindari itu harus dibangun adanya kejujuran dan niat yang tulus dalam menuntut ilmu.
Sistem pendidikan sedikit banyak berperan dalam membentuk watak peserta didik bangsa yang memiliki kesadaran akan jiwa pembelajar yang tulus dan memiliki itikad kontribusi bagi bangsa. Bukan itikad untuk semata mecari keuntungan pragmatis.
Citizen journalism yang saat ini berkembang terutama berkat adanya web 2.0 merupakan tren yang positif untuk mengembangkan kultur knowledge production. Hal ini selain harus dipagari dari hal-hal yang tidak mendatangkan nilai tambah seperti isu SARA yang memcah belah, pornografi, gosip, kekerasan, dan lain sebagainya juga harus distimulus melalui penciptaan sarana dan prasarana oleh Kementrian Kominfo.
Abad informasi yang menuntun pada akses informasi yang merata membawa pada kedaulatan informasi di tangan khalayak. Akses informasi yang merata belum cukup untuk mendatangkan kesejahteraan sosial jika masyarakat hanya bertindak sebagai konsumen informasi. Terlebih jika informasi yang diakses adalah informasi yang tidak bernilai tambah. Masyarakat harus mentransformasikan informasi menjadi knowledge. Selanjutnya menjadi pencipta knowledge. Penciptaan knowledge berkaitan dengan kultur inovasi yang sangat diperlukan untuk menghadapi persaingan.
Oleh :
TOTO SUDARMONGI
|  9 Agustus 2010  |  13:50
Source : http://teknologi.kompasiana.com/group/internet/2010/08/09/kedaulatan-informasi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar